kan Lele Dumbo Mina Sejahtera

 



Beternak Lele Dumbo Ramah Lingkungan

Lele dumbo (Clarias gariepinus) semula dipandang sebelah mata. Namun, komoditas perikanan air tawar ini sekarang menjelma menjadi industri rakyat. Nilai perdagangannya setiap tahun mencapai lebih dari Rp 1 triliun, penyerapan tenaga kerja, nilai tambah, dan multyplier effect yang dihasilkan juga besar.Berbagai jenis usaha terkait lele pun meluas, mulai dari industri pakan (pelet), perbenihan, budidaya, perdagangan, hingga pengolahan pangan berbahan baku lele yang umumnya skala rumahan.
Konsumen lele juga menyebar luas. Dari desa hingga ke kota. Tidak saja rakyat jelata yang makan di warung-warung tenda dengan sambal terasi dan lalapan, tetapi merambah ke konsumen menengah atas.
Perubahan status sosial komoditas lele ini telah merangsang tumbuhnya berbagai inovasi usaha dalam teknologi pengolahan pangan. Ada lele goreng kremes, bakso lele, mi basah lele, lele asap, abon lele, rolade lele, hingga pizza lele.
Karena potensinya yang besar, tak kurang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ikut mendukung pengembangan usaha berbasis lele dumbo dengan kampanye makan lele.

Konsumsi meningkat
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan Made L Nurdjana, Rabu (29/7) di Sukabumi, Jawa Barat, mengungkapkan, terus meningkatnya konsumsi lele dan produk olahannya secara otomatis mendorong peningkatan produksi lele dalam negeri. Tahun 2008 saja produksi lele hidup untuk konsumsi mencapai 108.200 ton.
Dengan menghitung per kilogram lele ukuran konsumsi ada delapan ekor, setidaknya dalam setahun produksi lele nasional mencapai 868,6 miliar ekor atau 2,37 miliar ekor per hari. Apabila dirupiahkan, produksi lele 108.200 ton per tahun itu senilai Rp 1,41 triliun, dengan asumsi harga lele konsumsi Rp 13.000 per kilogram.
Belum menghitung nilai ekonomi yang timbulkan dari usaha lele, baik dari aspek off farm maupun sarana produksi, seperti produksi pakan, obat-obatan, material kolam, pemupukan, hingga pembenihannya.
Semakin besar lagi perputaran ekonomi kalau menghitung berapa juta pedagang di seantero negeri ini berkat lele, baik dalam bentuk warung tenda maupun produk olahan. Juga berapa banyak tenaga kerja yang terserap baik tingkat hulu maupun hilir, dan perdagangannya.
Dewasa ini permintaan lele juga tidak saja berasal dari dalam negeri. Konsumen di Amerika Serikat dan Eropa juga sudah melirik lele. Begitu pula dengan Singapura dan Malaysia.

Arus bawah
Berkembangnya ”industrialisasi” lele dumbo berbasis kerakyatan secara tanpa disengaja tumbuh dari bawah. Ketika lele dumbo masuk Indonesia beberapa dekade lalu, minat masyarakat terhadap jenis ikan catfish yang satu ini cenderung negatif.
Kala itu masyarakat tidak begitu suka dengan lele karena kesan menjijikkan. Kulitnya yang berlendir mengingatkan konsumen tertentu pada jenis hewan melata seperti belut.
Kemampuan adaptasi binatang air yang satu ini karena mampu hidup dalam lingkungan air yang kotor sekalipun telah menggeser persepsi masyarakat terhadap komoditas lele yang terkesan jorok.
Namun, seiring melemahnya daya beli masyarakat akibat berbagai tekanan ekonomi, lele semakin diminati. Selain murah kandungan proteinnya tinggi.
Munculnya fenomena pecel lele kian mendongkrak citra lele di mata masyarakat. Mengonsumsi lele bukan lagi memalukan. Di Yogyakarta, pecel lele menjadi santapan yang digemari mahasiswa karena terjangkau. Kebutuhan lele dumbo di Yogyakarta 10-15 ton per hari.
Pelan dan pasti, permintaan lele terus naik. Bila tahun 2004, produksi lele budidaya hanya 51.271 ton per tahun, tahun 2005 naik menjadi 69.386 ton, 2006 (77.272 ton), 2007 (91.735 ton), dan 2008 (108.200 ton).
Direktur Riset dan Kajian Strategis Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria mengungkapkan, lele merupakan industri rakyat. Tak ubahnya raksasa yang tidur (sleeping giant), bisa diusahakan siapa saja.
Yang diperlukan saat ini adalah inovasi teknologi pangan. Karena sekarang ini konsumsi terbesar lele dumbo lebih pada bentuk segar, belum banyak ke produk olahan. Kalau tidak segera mengembangkan industri pangan olahan berbasis lele, akan terjadi kelebihan pasokan dan ini akan membahayakan bagi kelangsungan usaha.
”Kalau menunggu inovasi teknologi pengolahan pangan dari masyarakat, perlu waktu lama. Kebijakan pemerintah, perguruan tinggi, dan lembaga penelitian di bidang pangan perlu di arahkan ke sana,” katanya.Industri lele dumbo berbasis usaha kecil rakyat ini jelas lebih tahan banting.

Ternak Lele di Jl. Makam Tentara 74 B RT 50/ RW 15

Ternak lele kami menggunakan teknologi ramah lingkungan, dikarenakan lokasinya di tengah pemukiman penduduk, sehingga tidak mengganggu kenyamanan dan tidak mencemari lingkungan .Dalam tiga bulan pemeliharaan, satu kolam ukuran 3 x 4 m bisa menghasilkan sekitar 2,5 – 3 kuintal lele. kami memiliki 11 kolam yang cara memanennya bergiliran sesuai umur panen lele. Untuk setiap harinya permintaan akan lele Jl. Makam Tentara berkisar antara1-1,5 kuintal. Karena banyaknya permintaan, sementara kolam ternak lele kami tidak dapat mencukupi permintaan, maka kami mengambil lele dari hasil ternak lele di sekitar madiun dan luar madiun. Kami juga mencoba inovasi baru dari produk lele kami, antara lain abon lele yang hanya kami layani apabila ada permintaan. Khusus untuk abon lele, kami belum bisa memproduksi dalam skala besar, karena terkendala teknologi atau peralatan yang belum dimiliki, antara lain Spinner untuk memeras minyak dari produk lele tersebut. Dan kendala lainnya yakni SDM yang dimiliki. Kesadaran masyarakat sekitar kami akan keuntungan berwirausaha abon lele ini terasa sangat kurang.

Produk kami telah mendapat perhatian dari pemerintah daerah kota Madiun, yakni mendapat kunjungan dari Ketua PKK Kota Madiun, Ibu Lies Bambang Irianto pada tanggal ; 11 Oktober tahun 2011 lalu. Harapan kami, produk inovasi abon lele kami lebih dikenal dan diminati oleh masyarakat, khususnya masyarakat Madiun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *